Kota Pintar dan Ketimpangan Digital Global: Ketika Inovasi Tak Selalu Merata
Kota pintar atau smart city sering digadang-gadang sebagai simbol kemajuan teknologi dan efisiensi tata kelola urban. Dengan sistem transportasi pintar, layanan publik digital, hingga penggunaan data real-time, kota pintar menjanjikan kehidupan yang lebih nyaman, aman, dan ramah lingkungan. Namun di balik semua kemilau itu, muncul pertanyaan besar: apakah semua lapisan masyarakat menikmati manfaatnya secara merata?
Artikel ini akan mengupas sisi lain dari smart city—yaitu bagaimana ketimpangan digital dapat menciptakan jurang sosial dan ekonomi yang makin lebar jika tak ditangani secara inklusif.
Apa Itu Kota Pintar?
Kota pintar adalah konsep kota yang menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk meningkatkan efisiensi operasional, berbagi informasi dengan publik, dan menyediakan layanan pemerintah yang lebih responsif. Tujuannya adalah menciptakan kota yang lebih baik dalam segala aspek: mobilitas, energi, lingkungan, kesehatan, pendidikan, hingga keamanan.
Tapi… teknologi hanya akan efektif jika bisa diakses dan dimanfaatkan oleh semua. Di sinilah letak tantangan utamanya.
Ketimpangan Digital: Masalah Lama di Era Baru
1. Akses Internet Tidak Merata
Banyak kota besar memang sudah terkoneksi dengan jaringan internet cepat. Tapi bagaimana dengan daerah pinggiran, pemukiman kumuh, atau komunitas berpenghasilan rendah? Mereka sering tertinggal dari sisi infrastruktur, perangkat digital, dan literasi teknologi.
2. Digital Divide dalam Layanan Publik
Layanan digital seperti e-health, e-education, atau e-governance bisa sangat membantu. Tapi jika warga tak punya perangkat atau koneksi yang layak, layanan ini justru memperparah eksklusi sosial. Ini bukan hanya soal teknologi, tapi juga soal keadilan sosial.
3. Data-Driven tapi Tidak Semua Terwakili
Smart city bergantung pada data. Tapi tidak semua komunitas terdata atau terdengar. Akibatnya, kebijakan dan layanan berbasis data bisa bias atau bahkan mengabaikan kelompok rentan.
Lihat juga: akses teknologi yang merata dan tantangan inklusi digital dalam era kota cerdas.
Tantangan Inklusi Digital dalam Kota Pintar
1. Biaya Infrastruktur dan Kesenjangan Pendanaan
Membangun kota pintar butuh biaya besar, dan biasanya proyek ini berfokus pada pusat kota atau kawasan elit. Hal ini memperbesar jurang antara “yang terkoneksi” dan “yang tertinggal.”
2. Literasi Digital yang Tidak Merata
Punya internet belum tentu bisa memanfaatkannya. Banyak warga—terutama lansia atau warga miskin kota—tidak familiar dengan layanan digital. Ini jadi hambatan besar untuk partisipasi digital yang sejati.
3. Privasi dan Pengawasan
Teknologi smart city kerap memakai sensor dan kamera canggih. Tapi siapa yang mengontrol data ini? Bagaimana hak privasi warga dilindungi? Tanpa regulasi yang kuat, teknologi bisa disalahgunakan oleh pihak yang berkuasa.
Menuju Kota Pintar yang Inklusif
Kota pintar seharusnya bukan hanya tentang teknologi, tapi tentang manusia. Berikut beberapa prinsip yang bisa diterapkan:
- Desain inklusif sejak awal: Sertakan komunitas marjinal dalam perencanaan kota.
- Aksesibilitas teknologi: Pastikan layanan bisa diakses lewat berbagai platform, termasuk perangkat sederhana.
- Pendidikan dan literasi digital: Program pelatihan yang mudah dijangkau semua kalangan sangat penting.
- Kolaborasi publik-swasta: Libatkan sektor swasta dalam memperluas akses teknologi, tapi dengan pengawasan etis.
- Evaluasi dan audit kebijakan berbasis data: Pastikan semua kebijakan digital tidak bias terhadap kelompok tertentu.
Teknologi Harus Memanusiakan, Bukan Menjauhkan
Smart city bukan sekadar proyek teknologi canggih. Ia adalah refleksi bagaimana kita membangun masa depan yang adil dan berkelanjutan. Jika tak dirancang dengan prinsip inklusi, kota pintar justru bisa menjadi kota yang diskriminatif.
Masa depan kota ada di tangan kita. Apakah kita memilih jalan inklusi dan pemerataan? Atau membiarkan kesenjangan digital menjadi warisan generasi mendatang? Jawabannya ada di keputusan kita hari ini.